Pokok-Pokok Filsafat Bab Ke Vi Wacana Filsafat Bahasa, Filsafat Analitik Positivisme Dan Bahsa Sehari-Hari
Pokok-pokok Filsafat bab ke VI perihal Filsafat Bahasa, Filsafat Analitik Positivisme dan Bahsa Sehari-hari- Filsafat Bahasa
16. Filsafat Analitik: Positivisme dan Bahasa sehari-hari
Dengan telah menyelidiki tiga cara penerapan pembedaan logis antara “analisis” dan “sintesis”, dan dengan agak rinci telah merambah penerapannya pada Geometri Logika, kiprah kita yang tersisa di Bagian Dua ini ialah mempertimbangkan bagaimana aksentuasi yang hiperbola pada analisis atau pun pada sintesis menjadi cara pengembangan ide-ide oleh sebagian filsuf. Pada Kuliah 1 yang kemudian saya memperlihatkan perbedaan dua gerakan yang berlawanan yang mendominasi filsafat Barat selama sebagian besar dari periode keduapuluh: analisis linguistik dan eksistensialisme (lihat Gambar I.2). Kebanyakan versi analisis linguistik menekankan pentingnya analisis, dan kebanyakan versi eksistensialisme, sintesis, hampir mengabaikan atau bahkan secara terang-terangan menolak makna penting kecenderungan lawanannya. Sekalipun begitu, menyerupai yang telah kita duga, dengan adanya pertalian komplementer antara analisis dan sintesis, setiap kecenderungan tersebut saling bergantung demi melanjutkan keberadaan masing-masing, lantaran merupakan kutub-kutub yang komplementer pada sebuah gerakan. Oleh alasannya ialah itu, mestinya tidaklah hingga mengejutkan [tatkala] kita dapati bahwa, menjelang selesai periode itu, kedua kecenderungan tersebut mulai sama-sama gugur, dan diganti secara sedikit demi sedikit oleh cara pikir lain, yakni, yang terpenting, filsafat hermeneutik. Menariknya, tiga pendekatan utama terhadap filsafat itu semuanya menekankan tema umum: sentralitas bahasa pada pencarian filosofis. Jadi, pada pekan ini kita akan mencurahkan sebuah kuliah bagi masing-masing.
Akar-akar analisis linguistik ditanam di lahan yang disiangi oleh seorang matematikawan berjulukan Gottlob Frege (1848-1925). Frege memulai sebuah revolusi logika (analitik), yang implikasinya masih dalam proses penanganan oleh filsuf-filsuf kontemporer. Ia menganggap bahwa logika sebenarnya bisa direduksi ke dalam matematika, dan yakin bahwa bukti-bukti harus selalu dikemukakan dalam bentuk langkah-langkah deduktif yang diungkapkan dengan gamblang. Yang lebih penting, ia percaya logika bisa mengerjakan tugas-tugas jauh melampaui apa saja yang dibayangkan oleh Aristoteles, asalkan para logikawan bisa menyebarkan cara pengungkapan makna linguistik seluruhnya dengan simbol-simbol logika. Salah satu idenya yang paling besar lengan berkuasa ialah menciptakan perbedaan antara “arti” (sense) proposisi dan “acuan” (reference)-nya, dengan mengetengahkan bahwa proposisi mempunyai makna hanya apabila mempunyai arti dan sekaligus acuan. (Ide ini mengandung kemiripan yang menonjol, secara kebetulan, dengan peryataan Kant bahwa pengetahuan hanya muncul melalui sintesis antara konsep dan intuisi.) Frege juga menyusun notasi gres yang memungkinkan terekspresikannya “penentu kuantitas” (kata-kata menyerupai “semua”, “beberapa”, dan sebagainya) dalam bentuk simbol-simbol. Ia berharap para filsuf bisa memakai notasi ini untuk menyempurnakan bentuk logis argumen mereka, sehingga memungkinkan mereka untuk jauh lebih dekat, daripada waktu-waktu sebelumnya, dengan inspirasi pembuatan filsafat menjadi ilmu yang ketat.
Untuk lebih luas dan lengkap mengenai Pokok-pokok Filsafat bab ke VI perihal Filsafat Bahasa, Filsafat Analitik Positivisme dan Bahsa Sehari-hari silahkan unduh saja di bawah ini :
Jika Frege sanggup dipandang selaku “bapak” analisis linguistik, maka “putra” terbesarnya, tak pelak lagi, ialah Ludwig Wittgenstein (1889-1951). Tak usang setelah tiba ke Cambridge, Wittgenstein terjun sendiri, menjadi salah seorang dari dua atau tiga orang filsuf periode keduapuluh yang paling berpengaruh. Sebagian besar dari pengaruhnya menyebar melalui kuliah-kuliah dan les-lesnya, dan melalui murid-muridnya dan melalui filsuf-filsuf lain yang ikut dalam diskusi-diskusi ini dengannya. Wittgenstein sendiri hanya menerbitkan sebuah buku selama hayatnya, yang ia tulis semasa ia masih muda. Akan tetapi, ketika ia meninggal, ia meninggalkan naskah bukunya yang kedua, yang risikonya diterbitkan pada dua tahun selepas kematiannya. Tiap buku itu meletakkan pondasi bagi versi utama analisis linguistik yang baru. Untuk waktu yang masih tersedia pada jam kuliah ini, mari kita perhatikan dua arah umum ini berturut-turut.
16. Filsafat Analitik: Positivisme dan Bahasa sehari-hari
Dengan telah menyelidiki tiga cara penerapan pembedaan logis antara “analisis” dan “sintesis”, dan dengan agak rinci telah merambah penerapannya pada Geometri Logika, kiprah kita yang tersisa di Bagian Dua ini ialah mempertimbangkan bagaimana aksentuasi yang hiperbola pada analisis atau pun pada sintesis menjadi cara pengembangan ide-ide oleh sebagian filsuf. Pada Kuliah 1 yang kemudian saya memperlihatkan perbedaan dua gerakan yang berlawanan yang mendominasi filsafat Barat selama sebagian besar dari periode keduapuluh: analisis linguistik dan eksistensialisme (lihat Gambar I.2). Kebanyakan versi analisis linguistik menekankan pentingnya analisis, dan kebanyakan versi eksistensialisme, sintesis, hampir mengabaikan atau bahkan secara terang-terangan menolak makna penting kecenderungan lawanannya. Sekalipun begitu, menyerupai yang telah kita duga, dengan adanya pertalian komplementer antara analisis dan sintesis, setiap kecenderungan tersebut saling bergantung demi melanjutkan keberadaan masing-masing, lantaran merupakan kutub-kutub yang komplementer pada sebuah gerakan. Oleh alasannya ialah itu, mestinya tidaklah hingga mengejutkan [tatkala] kita dapati bahwa, menjelang selesai periode itu, kedua kecenderungan tersebut mulai sama-sama gugur, dan diganti secara sedikit demi sedikit oleh cara pikir lain, yakni, yang terpenting, filsafat hermeneutik. Menariknya, tiga pendekatan utama terhadap filsafat itu semuanya menekankan tema umum: sentralitas bahasa pada pencarian filosofis. Jadi, pada pekan ini kita akan mencurahkan sebuah kuliah bagi masing-masing.
Pokok-pokok Filsafat bab ke VI perihal Filsafat Bahasa, Filsafat Analitik Positivisme dan Bahsa Sehari-hari
Pada jam kuliah ini kita hendak membahas anasir utama gerakan filosofis yang mendominasi filsafat yang berbahasa-tutur Inggris sepanjang periode yang lalu, yang dikenal sebagai “analisis linguistik”. Jalan filosofis ini juga disebut dengan nama-nama menyerupai “filsafat analitik”, “filsafat linguistik”, atau “filsafat bahasa”, bergantung pada preferensi filsuf yang bersangkutan. Namun pada umumnya kita sanggup memerikan pendekatan ini sebagai sesuatu yang menganggap analisis bahasa sebagai kiprah fundamental filsuf. Cara yang cermat perihal bagaimana bahasa mestinya dianalisis, definisi yang sempurna perihal apakah analisis itu, dan juga pembatasan yang pas perihal apa yang terhitung sebagai bahasa, semuanya merupakan duduk perkara yang diperdebatkan secara terbuka di kalangan anggota-anggota pedoman ini. Namun di tengah semua perbedaan mereka, para analis linguistik disatukan oleh keyakinan bersama mereka bahwa duduk perkara filosofis harus didekati mula-mula dan terutama (jika bukan hanya) dari sudut pandang yang akar-akarnya pada bahasa manusia. Sebagiannya percaya bahwa dalam memegang keyakinan ini mereka merupakan pewaris sejati atas gagasan keterbatasan pengetahuan [yang dicanangkan] oleh Kant—sampai pada pengertian bahwa gagasan “peralihan transendental” dalam berfilsafat dikira, oleh banyak filsuf ketika ini, identik dengan “peralihan linguistik”.Akar-akar analisis linguistik ditanam di lahan yang disiangi oleh seorang matematikawan berjulukan Gottlob Frege (1848-1925). Frege memulai sebuah revolusi logika (analitik), yang implikasinya masih dalam proses penanganan oleh filsuf-filsuf kontemporer. Ia menganggap bahwa logika sebenarnya bisa direduksi ke dalam matematika, dan yakin bahwa bukti-bukti harus selalu dikemukakan dalam bentuk langkah-langkah deduktif yang diungkapkan dengan gamblang. Yang lebih penting, ia percaya logika bisa mengerjakan tugas-tugas jauh melampaui apa saja yang dibayangkan oleh Aristoteles, asalkan para logikawan bisa menyebarkan cara pengungkapan makna linguistik seluruhnya dengan simbol-simbol logika. Salah satu idenya yang paling besar lengan berkuasa ialah menciptakan perbedaan antara “arti” (sense) proposisi dan “acuan” (reference)-nya, dengan mengetengahkan bahwa proposisi mempunyai makna hanya apabila mempunyai arti dan sekaligus acuan. (Ide ini mengandung kemiripan yang menonjol, secara kebetulan, dengan peryataan Kant bahwa pengetahuan hanya muncul melalui sintesis antara konsep dan intuisi.) Frege juga menyusun notasi gres yang memungkinkan terekspresikannya “penentu kuantitas” (kata-kata menyerupai “semua”, “beberapa”, dan sebagainya) dalam bentuk simbol-simbol. Ia berharap para filsuf bisa memakai notasi ini untuk menyempurnakan bentuk logis argumen mereka, sehingga memungkinkan mereka untuk jauh lebih dekat, daripada waktu-waktu sebelumnya, dengan inspirasi pembuatan filsafat menjadi ilmu yang ketat.
Untuk lebih luas dan lengkap mengenai Pokok-pokok Filsafat bab ke VI perihal Filsafat Bahasa, Filsafat Analitik Positivisme dan Bahsa Sehari-hari silahkan unduh saja di bawah ini :
Pokok-pokok Filsafat bab ke VI perihal Filsafat Bahasa, Filsafat Analitik Positivisme dan Bahsa Sehari-hari [DOWNLOAD]Salah seorang filsuf pertama yang mengakui teramat pentingnya temuan gres Frege dalam logika ialah Bertrand Russel (1872-1970)—barangkali dialah filsuf Inggris yang paling populer di periode keduapuluh. Russel, bahu-membahu dengan A.N. Whitehead, menerapkan banyak wawasan Frege dalam menulis buku yang tentu merupakan goresan pena terpenting filsafat periode keduapuluh, yang sekurang-kurangnya masih dibaca, Principia Mathematica. Russel menyebarkan banyak inspirasi yang menarik dan besar lengan berkuasa pada aneka-macam pokok bahasan selama karir panjangnya. Sayangnya, pada sejumlah kesempatan ia mengubah pandangannya, dengan mengajukan teks yang melawan pandangannya sendiri yang ia bela di tulisan-tulisan terdahulu. Lantaran ia tidak pernah menyusun sebuah sistem filsafat yang taat-asas, aneka-macam idenya itu terlalu sulit untuk diperiksa di sini. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan seorang rekan Russel yang lebih muda, yang memulai karir filsafatnya sebagai murid Russel. Filsuf yang berbahasa-tutur Jerman ini, setelah menempuh studi teknik selama beberapa tahun di Manchester, mengirim esai kepada Russel di Cambridge, memberitahu ia bahwa ia ingin mengkaji filsafat di bawah bimbingan Russel—kalau tidak, ia akan menuntut ilmu lebih lanjut di bidang ilmu penerbangan. Untungnya, bagi dunia filsafat, Russel mengundang cowok ini untuk menjadi mahasiswanya di Cambridge.
Jika Frege sanggup dipandang selaku “bapak” analisis linguistik, maka “putra” terbesarnya, tak pelak lagi, ialah Ludwig Wittgenstein (1889-1951). Tak usang setelah tiba ke Cambridge, Wittgenstein terjun sendiri, menjadi salah seorang dari dua atau tiga orang filsuf periode keduapuluh yang paling berpengaruh. Sebagian besar dari pengaruhnya menyebar melalui kuliah-kuliah dan les-lesnya, dan melalui murid-muridnya dan melalui filsuf-filsuf lain yang ikut dalam diskusi-diskusi ini dengannya. Wittgenstein sendiri hanya menerbitkan sebuah buku selama hayatnya, yang ia tulis semasa ia masih muda. Akan tetapi, ketika ia meninggal, ia meninggalkan naskah bukunya yang kedua, yang risikonya diterbitkan pada dua tahun selepas kematiannya. Tiap buku itu meletakkan pondasi bagi versi utama analisis linguistik yang baru. Untuk waktu yang masih tersedia pada jam kuliah ini, mari kita perhatikan dua arah umum ini berturut-turut.
Pokok-pokok Filsafat bab ke VI perihal Filsafat Bahasa, Filsafat Analitik Positivisme dan Bahsa Sehari-hari
Related Posts