Konsep Berguru Behavioral Klasik

Konsep Belajar Behavioral Klasik_

A.   Konsep Belajar Behavioral Klasik
Teori ini memandang insan sebagai produk lingkungan. Artinya, segala sikap insan sangat dipengaruhi oleh kejadian-kejadian di dalam lingkungan sekitarnya. Di mana lingkungan daerah insan tinggal, di sanalah seluruh kepribadiannya akan terbentuk. Lingkungan yang baik akan membentuk insan menjadi baik. Juga sebaliknya, lingkungan yang buruk akan menghasilkan manusia-manusia yang bermental buruk sesuai dengan kondisi lingkungan tadi.

Selain itu, konsep berguru behavioristik juga menjelaskan bahwa berguru itu ialah perubahan sikap yang sanggup diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Perubahan terjadi melalui rangsangan (stimulans) yang menimbulkan kekerabatan sikap reaktif (respon) berdasarkan hukum-hukum mekanistik. Stimulans tidak lain ialah lingkungan berguru anak, baik yang internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan respons ialah jawaban atau dampak, berupa reaksi fisik terhadap stimulans. Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat dan kecenderungan sikap S-R (stimulus-Respon).

 Teori ini memandang insan sebagai produk lingkungan Konsep Belajar Behavioral Klasik

 
1. Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936).
Ivan Petrovich Pavlov lahir 14 September 1849 di Ryazan Rusia yaitu desa daerah ayahnya Peter Dmitrievich Pavlov menjadi seorang pendeta. Ia dididik di sekolah gereja dan melanjutkan ke Seminar Teologi. Pavlov lulus sebagai sarjana kedokteran dengan bidang dasar fisiologi. Pada tahun 1884 ia menjadi Direktur Departemen Fisiologi pada Institute Of Experimental Medicine dan memulai penelitian mengenai fisiologi pencernaan. Ivan Pavlov meraih penghargaan nobel pada bidang Physiology or Medicine tahun 1904. Karyanya mengenai pengkondisian sangat mempengaruhi psikologi behavioristik di Amerika. Karya tulisnya ialah Work of Digestive Glands (1902) dan Conditioned Reflexes (1927).

a. Karakter Classical Conditioning
Classical conditioning (pengkondisian atau persyaratan klasik) ialah sebuah mekanisme penciptaan refleks gres dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya refleks tersebut. (Terrace, 1973). Selain itu, ada pula proses yang ditemukan Pavlov melalui percobaannya terhadap anjing, dimana perangsang orisinil dan netral dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan.

Eksperimen-eksperimen yang dilakukan Pavlov dan andal lain sepertinya sangat terpengaruh pandangan behaviorisme, dimana gejala-gejala kejiwaan seseorang dilihat dari perilakunya. Hal ini sesuai dengan pendapat (Bakker, 1985) bahwa yang paling sentral dalam hidup insan bukan hanya pikiran, peranan maupun bicara, melainkan tingkah lakunya. Pikiran mengenai kiprah atau rencana gres akan mendapatkan arti yang benar jikalau ia berbuat sesuatu.

Bertitik tolak dari asumsinya bahwa dengan memakai rangsangan-rangsangan tertentu, sikap insan sanggup berubah sesuai dengan apa yang diiginkan. Kemudian Pavlov mengadakan eksperimen dengan memakai binatang (anjing) lantaran ia menganggap binatang mempunyai kesamaan dengan manusia. Namun demikian, dengan segala kelebihannya, secara hakiki insan berbeda dengan binatang.

Ia mengadakan percobaan dengan cara melaksanakan operasi leher pada seekor anjing sehingga kelihatan kelenjar air liurnya dari luar. Apabila diperlihatkan sesuatu makanan, maka akan keluarlah air liur anjing tersebut. Namun sebelum kuliner diperlihatkan, diperdengarkan bunyi bel terlebih dahulu. Dengan sendirinya air liurpun akan keluar. Apabila perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang, maka pada suatu ketika dengan hanya membunyikan bel saja tanpa kuliner maka air liurpun akan keluar dengan sendirinya. Eksperimen ini kemudian diulang-ulang dengan banyak sekali variasi, namun sanggup disimpulkan bahwa:
  • Anjing dibiarkan lapar, sesudah itu bel dibunyikan; anjing mendengarkan benar-benar bunyi    bel tersebut. Setelah bel berbunyi selama 30 detik, kuliner diberikan dan terjadilah refleks    pengeluaran air liur.
  • Percobaan tersebut diulang-ulang berkali-kali dengan jarak waktu 15 menit.
  • Setelah diulang 32 kali, ternyata bunyi bel saja (± 30 detik) telah sanggup menyebabkan             keluarnya air liur dan ini bertambah deras kalau kuliner diberikan. 
Dari eksperimen ini, sanggup diketahui bahwa:
  • Bel merupakan CS (Conditioned Stimulus/perangsang bersyarat) dan kuliner merupakan US (Unconditioned Stimulus/ perangsang tak bersyarat).
  • Keluarnya air liur lantaran bel merupakan CS (Conditioned Stimulus/perangsang bersyarat).
  • Makanan atau perangsang masuk akal (US) disebut juga reinforcer (=penguat). Karena memperkuat refleks bersyarat dan menimbulkan respon lebih besar lengan berkuasa daripada refleks bersyarat.
Makanan ialah rangsangan wajar, sedang bel ialah rangsangan buatan. Ternyata kalau perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang, rangsangan buatan ini akan menimbulkan syarat (kondisi) untuk timbulnya air liur pada anjing tersebut. Peristiwa ini disebut: Refleks Bersyarat atau Conditioned Response. Pavlov beropini bahwa kelenjar-kelenjar yang lain pun sanggup dilatih. Bectrev, murid Pavlov memakai prinsip-prinsip tersebut pada manusia, yang ternyata diketemukan banyak refleks bersyarat yang timbul, namun tidak disadari oleh manusia. Dari eksperimen Pavlov sesudah pengkondisian atau adaptasi sanggup diketahui bahwa, daging yang menjadi stimulus alami sanggup digantikan oleh bunyi bel sebagai stimulus yang dikondisikan. Ketika bel dibunyikan, ternyata air liur anjing keluar sebagai respon yang dikondisikan.

Apakah situasi ini bisa diterapkan pada manusia? Ternyata dalam kehidupan sehari-hari ada situasi yang sama menyerupai pada anjing. Sebagai contoh, bunyi lagu dari penjual es krim Walls yang berkeliling dari rumah ke rumah. Awalnya mungkin bunyi itu asing, tetapi sesudah si pejual es krim sering lewat, maka nada lagu tersebut bisa menerbitkan air liur apalagi pada siang hari yang panas. Bayangkan, bila tidak ada lagu tersebut betapa lelahnya si penjual berteriak-teriak menjajakan dagangannya. Dari referensi tersebut sanggup diketahui bahwa dengan menerapkan taktik Pavlov ternyata individu sanggup dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus yang sempurna untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya. Dengan demikian, adaptasi klasik (classical conditioning) dari pavlov didasarkan atas reaksi tak terkontrol dalam individu sesudah mendapatkan rangsangan dari luar.

Dari uraian di atas, sanggup disimpulkan beberapa huruf dari klasikal kondisioning, antara lain:

Learning took place (Belajar jawaban tempat).

Dalam hal ini, behavioral klasik menekankan bahwa seseorang itu sanggup berguru bahkan berubah dari pengalamannya. Dengan kata lain, bisa mengantisipasi kelemahannya atau mempelajari dan menyiasati sehingga sanggup memecahkan/ menemukan solusinya.

Respon yang terbentuk bersifat emosional atau fisiologikal dan tidak disengaja. Maksudnya, Respon yang ada tersebut diluar kontrol kesadaran siswa. Stimulus yang tadinya tidak ada hubungan, menjadi berhubungan. Conditioned-unconditioned respon ialah identik atau serupa.

b.  Classical Conditioning Di Kelas
Proses berguru dengan rumus S-R bisa berjalan dengan syarat adanya unsur-unsur menyerupai dorongan (drive), rangsangan (stimulus), respon (response), dan penguatan (reinforcement).
Pertama, dorongan ialah suatu impian dalam diri seseorang untuk memenuhi suatu kebutuhan yang sedang dirasakannya. Seorang anak merasakan adanya kebutuhan akan materi bacaan ringan untuk mengisi waktu senggangnya, maka ia terdorong untuk memenuhi kebutuhan itu, contohnya dengan mencarinya di perpustakaan terdekat. Unsur dorongan ini ada pada setiap orang meskipun tingkatannya tidak sama: ada yang kuat, ada pula yang lemah.

Kedua, adanya rangsangan (stimulus). Kalau dorongan datangnya dari dalam, maka rangsangan tiba dari luar. Bau kuliner yang enak bisa merangsang timbulnya selera makan yang tinggi, bahkan yang tadinya tidak terlalu lapar pun bisa menjadi lapar dan ingin segera mencicipinya. Wanita anggun dengan pakaian yang ketat juga bisa merangsang gairah seksual setiap lelaki sampaumur (yang normal) . Oleh lantaran itu, dalam islam perempuan tidak diperbolehkan berpakaian yang merangsang, dan bahkan harus menutup seluruh auratnya (Qur’an:24:31). Hal ini untuk menjaga “keamanan”, menjaga nafsu yang sering tidak terkendali sebagaimana sering kita dengar adanya tindakan perkosaan brutal yang tidak berprikemanusiaan.

Dalam sistem intruksional, rangsangan ini bisa terjadi (bahkan bisa diupayakan) pada pihak sasaran untuk bereaksi sesuai dengan impian komunikator, guru maupun instruktur. Dalam suatu kuliah siang hari, pada ketika para mahasiswa banyak yang mengantuk dan kurang bergairah, sang dosen bisa merangsangnya dengan banyak sekali cara, dan yang sering dilakukan ialah antara lain dengan mengajukan banyak sekali pertanyaan yang selektif dan menarik, bercerita ringan atau humor.

Dari adanya rangsangan tersebut kemudian timbul reaksi, dan memang orang bisa timbul reaksinya atas suatu rangsangan. Bentuk reaksi berbeda-beda tergantung pada situasi, kondisi dan bahkan bentuk rangsangan tadi. Reaksi-reaksi yang terjadi pada seseorang jawaban adanya rangsangan dari lingkungan sekitarnya inilah yang disebut dengan respon dalam teori belajar. Maka unsur yang

Ketiga, ialah duduk perkara respon. Respon ini bisa dilihat atau diamati dari luar. Respon ini ada yang positif dan ada pula yang negatif. Respon positif terjadi sebagai jawaban “ketepatan” seseorang melaksanakan respon (mereaksi) terhadap stimulus yang ada, dan tentunya yang sesuai dengan yang diharapkan. Sedangkan respon negatif ialah apabila seseorang bereaksi justru sebaliknya dari yang diperlukan oleh pemberi rangsangan. Kempat, ialah duduk perkara penguatan (reinforcement). Unsur ini datangnya dari pihak luar kepada seseorang yang sedang melaksanakan respon. Apabila respon telah benar, maka perlu diberi penguatan semoga orang tersebut merasa adanya kebutuhan untuk melaksanakan respons menyerupai tadi lagi. Seorang anak kecil yang sedang mencoret-coret buku kepunyaan kakaknya, tiba-tiba dibentak dengan kasar, bisa terkejut bahkan bisa menderita guncangan sehingga ia tidak akan mencoret-coret buku lagi. Bahkan kemungkinan yang paling buruk di kemudian hari barangkali ia akan benci terhadap setiap yang namanya tulis menulis. Hal ini ialah bentuk penguatan yang salah. Barangkali akan lebih baik apabila cara melarangnya dengan kata-kata yang tidak membentak. Dengan demikian si anak akan merasa dihentikan menulis, dan itu namanya anak diberi penguatan positif sehingga ia merasa perlu untuk melaksanakan coretan menyerupai tadi, tapi di daerah lain. Setiap kali seorang siswa menerima nilai A pada mata pelajaran matematika, ia menerima kebanggaan dari guru; maka selanjutnya ia akan berusaha mempertahankan prestasinya itu. Dengan kata lain, ia melaksanakan semuanya itu lantaran dipuji (diberi penguatan) oleh guru.

Proses berguru akan terjadi secara terus menerus apabila stimulus dan respon ini berjalan dengan lancar. Ia berproses secara rutin dan tampak menyerupai otomatis tanpa membicarakan hal-hal yang terjadi selama berlangsungnya proses tadi. Namun dalam hal ini tidak dibicarakan bahwa yang namanya berguru banyak melibatkan unsur pikiran, ingatan, kemauan, motivasi, dan lain-lain.
Aplikasi atau penerapan klasikal kondisioning di kelas ialah dengan cara:
  • Menjadikan lingkungan berguru yang nyamn&hangat, sehingga kelas menjadd satu ksatuan (saling berhubungan) dengan emosi positf (adanya kekerabatan persahabatan/kekerabatan).
  • Pada awal masuk kelas, guru tersnyum dan sebagai pembukaan bertanya kepada siswa tetang kabar keluarga, binatang peliharaan/hal pribadi dalam hidup mereka.
  • Guru berusaha semoga siswa merespek satu sama lain pada prioritas tinggi di kelas, misalnya, pada diskusi kelas guru merangsang siswa untuk berpendapat.
  • Pada sesi tanya jawab, guru berusaha menciptakan siswa berada dalam situasi yang nyaman dengan memperlihatkan hasil (positf outcome – masukn positif). Misalnya, jikalau siswa diam/tidak aktif, maka guru bisa memulai dengan pertanyaan ”apa pendapatmu perihal duduk perkara ini”, atau bagaimana kau membandingkan dua referensi ini”. Dengan kata lain, guru memberi pertanyaan yang sanggup memancing siswa untuk berpendapat. Namun jikalau dengan cara inipun siswa tidak sanggup/ segan untuk merespon, maka kiprah guru untuk membimbing/ memacu hingga siswa memberi jawaban yang sanggup diterima.
c.  Generalisasi dan Diskriminasi

1)  Generalisasi
Yang dimaksud dengan generalisasi ialah suatu proses berpindahnya/berlakunya suatu respon secara umum terhadap stimulus/rangsangan lain.

2)  Deskriminasi
Yang dimaksud dengan deskriminasi ialah suatu proses dimana kita mempelajari bahwa, suatu rangsangan itu tidak selalu direspon dengan cara yang sama.

d. Extinction
Yang dimaksud dengan extinction ialah Suatu proses dimana suatu respon berakhir. Atau dengan kata lain, extinction ialah hilangnya suatu respon pengkondisian.

 
2.  Edward Lee Thorndike (1874-1949)
Thorndike berprofesi sebagai seorang pendidik dan psikolog yang berkebangsaan Amerika. Lulus S1 dari Universitas Wesleyen tahun 1895, S2 dari Harvard tahun 1896 dan meraih gelar doktor di Columbia tahun 1898. Buku-buku yang ditulisnya antara lain Educational Psychology (1903), Mental and social Measurements (1904), Animal Intelligence (1911), Ateacher’s Word Book (1921), Your City (1939), dan Human Nature and The Social Order (1940).

Menurut Thorndike, berguru merupakan insiden terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R ). Stimulus ialah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk beraksi atau berbuat, sedangkan respon ialah sembarang tingkah laris yang dimunculkan lantaran adanya perangsang. Asosiasi yang demikian itu disebut ”Bond” atau ”connection”. Dalam hal ini, akan akan menjadi lebih besar lengan berkuasa atau lebih lemah dalam terbentuknya atau hilangnya kebiasaan-kebiasaan. Oleh lantaran itu, teori berguru yang dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebut dengan teori berguru koneksionisme atau teori asosiasi. Dengan adanya pandangan-pandangan Thorndike yang memperlihatkan proteksi cukup besar di dunia pendidikan tersebut, maka ia dinobatkan sebagai salah satu tokoh pencetus dalam psikologi pendidikan. Selain itu, bentuk berguru yang paling khas baik pada binatang maupun pada insan menurutnya ialah “trial and error learning atau selecting and connecting learning” dan berlangsung berdasarkan hukum-hukum tertentu.

Eksperimennya yang populer ialah dengan memakai kucing yang masih muda dengan kebiasaan-kebiasaan yang masih belum kaku, dibiarkan lapar; kemudian dimasukkan ke dalam kurungan yang disebut ”problem box”. Dimana konstruksi pintu kurungan tersebut dibentuk sedemikian rupa, sehingga kalau kucing menyentuh tombol tertentu pintu kurungan akan terbuka dan kucing sanggup keluar dan mencapai kuliner (daging) yang ditempatkan diluar kurungan itu sebagai hadiah atau daya penarik bagi si kucing yang lapar itu. Pada perjuangan (trial) yang pertama, kucing itu melaksanakan majemuk gerakan yang kurang relevan bagi pemecahan problemnya, menyerupai mencakar, menubruk dan sebagainya, hingga kemudian menyentuh tombol dan pintu terbuka. Namun waktu yang dibutuhkan dalam perjuangan yang pertama ini ialah lama. Percobaan yang sama menyerupai itu dilakukan secara berulang-ulang; pada usaha-usaha (trial) berikutnya dan ternyata waktu yang dibutuhkan untuk memecahkan problem itu makin singkat. Hal ini disebabkan lantaran intinya kucing itu sebetulnya tidak mengerti cara membebaskan diri dari kurungan tersebut, tetapi beliau berguru mempertahankan respon-respon yang benar dan menghilangkan atau meninggalkan respon-respon yang salah. Dengan demikian diketahui bahwa supaya tercapai kekerabatan antara stimulus dan respons perlu adanya kemampuan untuk menentukan respons yang sempurna serta melalui usaha–usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu.

Percobaan tersebut menghasilkan teori “trial and error” atau “selecting and conecting”, yaitu bahwa berguru itu terjadi dengan cara mencoba-coba dan menciptakan salah. Dalam melaksanakan coba-coba ini, kucing tersebut cenderung untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak mempunyai hasil. Setiap respons menimbulkan stimulus yang baru, selanjutnya stimulus gres ini akan menimbulkan respons lagi, demikian selanjutnya, sehingga sanggup digambarkan sebagai berikut:

Menurut Thorndike, ada tiga aturan berguru yang utama dan ini diturunkannya dari hasil-hasil penelitiannya. Hukum tersebut antara lain:

1.The Law Of Readiness (Hukum Kesiapan)
Hukum kesiapan yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laris tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.

Prinsip pertama teori koneksionisme ialah berguru merupakan suatu aktivitas membentuk asosiasi (connection) antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak. Misalnya, jikalau anak merasa bahagia atau tertarik pada aktivitas jahit-menjahit, maka ia akan cenderung mengerjakannya. Apabila hal ini dilaksanakan, ia merasa puas dan berguru menjahit akan menghasilkan prestasi memuaskan.

Menurut Thorndike, ada beberapa kondisi yang akan muncul pada aturan kesiapan ini, diantaranya:

a.  Jika ada kecenderungan untuk bertindak dan orang mau melakukannya, maka ia akan merasa puas. Akibatnya, ia tak akan melaksanakan tindakan lain.

b. Jika ada kecenderungan untuk bertindak, tetapi ia tidak mau melakukannya, maka timbullah rasa ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melaksanakan tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya.

c. Jika belum ada kecenderungan bertindak, namun ia dipaksa melakukannya, maka hal inipun akan menimbulkan . Akibatnya, ia juga akan melaksanakan tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya.

2. The Law of Exercise (Hukum Latihan)
Hukum latihan yaitu semakin sering tingkah laris diulang/dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat. Dalam hal ini, aturan latihan mengandung dua hal:

a. The Law of Use
Hubungan-hubungan atau koneksi-koneksi akan menjadi bertambah kuat, kalau ada latihan yang sifatnya lebih memperkuat kekerabatan itu.

b. The Law of Disue
Hubungan-hubungan atau koneksi-koneksi akan menjadi bertambah lemah atau terlupa kalau latihan-latihan dihentikan, lantaran sifatnya yang melemahkan kekerabatan tersebut.

3  The Law of Effect (Hukum Akibat)
Hukum jawaban yaitu kekerabatan stimulus respon yang cenderung diperkuat bila kesudahannya menyenangkan dan cenderung diperlemah jikalau kesudahannya tidak memuaskan. Hukum ini menunjuk pada makin besar lengan berkuasa atau makin lemahnya koneksi sebagai hasil perbuatan. Suatu perbuatan yang disertai jawaban menyenangkan cenderung dipertahankan dan lain kali akan diulangi. Sebaliknya, suatu perbuatan yang diikuti jawaban tidak menyenangkan cenderung dihentikan dan tidak akan diulangi.

Koneksi antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak sanggup menguat atau melemah, tergantung pada “buah” hasil perbuatan yang pernah dilakukan. Misalnya, bila anak mengerjakan PR, ia mendapatkan muka manis gurunya. Namun, jikalau sebaliknya, ia akan dihukum. Kecenderungan mengerjakan PR akan membentuk sikapnya.

Thorndike berkeyakinan bahwa prinsip proses berguru binatang intinya sama dengan yang berlaku pada manusia, walaupun kekerabatan antara situasi dan perbuatan pada binatang tanpa diperantarai pengartian. Binatang melaksanakan respons-respons pribadi dari apa yang diamati dan terjadi secara mekanis. (Suryobroto, 1984).

Selanjutnya Thorndike menambahkan aturan perhiasan sebagai berikut:

a.  Hukum Reaksi Bervariasi (law of multiple response).
Hukum ini menyampaikan bahwa pada individu diawali oleh proses trial dan error yang memperlihatkan adanya majemuk respon sebelum memperoleh respon yang sempurna dalam memecahkan duduk perkara yang dihadapi.

b.  Hukum Sikap ( law of attitude).
Hukum ini menjelaskan bahwa sikap berguru seseorang tidak hanya ditentukan oleh kekerabatan stimulus dengan respon saja, tetapi juga ditentukan oleh keadaan yang ada dalam diri individu baik kognitif, emosi, sosial, maupun psikomotornya.

c.  Hukum Aktifitas Berat Sebelah (law of prepotency element).
Hukum ini menyampaikan bahwa individu dalam proses berguru memperlihatkan respon pada stimulus tertentu saja sesuai dengan persepsinya terhadap keseluruhan situasi ( respon selektif).

d  Hukum Respon Melalui Analogi (law of response by analogy).
Hukum ini menyampaikan bahwa individu dalam melaksanakan respon pada situasi yang belum     pernah dialami lantaran individu sesungguhnya sanggup menghubungkan situasi yang belum pernah dialami dengan situasi usang yang pernah dialami sehingga terjadi transfer atau perpindahan unsur-unsur yang telah dikenal ke situasi baru. Makin banyak unsur yang sama maka transfer akan makin mudah.

e. Hukum Perpindahan Asosiasi (law of associative shifting).
Hukum ini menyampaikan bahwa proses peralihan dari situasi yang dikenal ke situasi yang belum dikenal dilakukan secara bertahap dengan cara menambahkan bertahap unsur gres dan membuang bertahap unsur lama.

Selain menambahkan hukum-hukum baru, dalam perjalanan penyampaian teorinya Thorndike mengemukakan revisi aturan berguru antara lain :

1. Hukum latihan ditinggalkan lantaran ditemukan pengulangan saja tidak cukup untuk memperkuat kekerabatan stimulus respon, sebaliknya tanpa pengulanganpun kekerabatan stimulus respon belum tentu diperlemah.

2. Hukum jawaban direvisi. Dikatakan oleh Thorndike bahwa yang berakibat positif untuk perubahan tingkah laris ialah hadiah, sedangkan eksekusi tidak berakibat apa-apa.

3.  Syarat utama terjadinya kekerabatan stimulus respon bukan kedekatan, tetapi adanya saling sesuai antara stimulus dan respon.

4.  Akibat suatu perbuatan sanggup menular baik pada bidang lain maupun pada individu lain.
Teori koneksionisme menyebutkan pula konsep transfer of training, yaitu kecakapan yang telah diperoleh dalam berguru sanggup dipakai untuk memecahkan duduk perkara yang lain. Perkembangan teorinya berdasarkan pada percobaan terhadap kucing dengan problem boxnya.

B. Aplikasi Teori Behavioral Klasik Dalam Pendidikan
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menerapkan teori behavioral ialah ciri-ciri besar lengan berkuasa yang mendasarinya yaitu:
  •  Mementingkan efek lingkungan;
  •  Mementingkan bagian-bagian;
  •  Mementingkan peranan reaksi;
  •  Mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil berguru melalui mekanisme stimulus respon;
  •  Mementingkan peranan kemampuan yang sudah terbentuk sebelumnya;
  •  Mementingkan pembentukan kebiasaan melalui latihan dan pengulangan;
  •  Hasil berguru yang dicapai ialah munculnya sikap yang diinginkan.
Sebagai konsekuensi dari teori ini, para guru yang memakai paradigma behaviorisme akan menyusun materi pelajaran dalam bentuk yang sudah siap, sehingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru tidak banyak memberi ceramah, tetapi isyarat singkat yang diikuti contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi. Bahan pelajaran disusun secara hierarki dari yang sederhana hingga pada yang kompleks. Sementara itu, tujuan pembelajaran dibagi dalam pecahan kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu ketrampilan tertentu. Pembelajaran berorientasi pada hasil yang sanggup diukur dan diamati, serta kesalahan harus segera diperbaiki. Pengulangan dan latihan dipakai supaya sikap yang diinginkan sanggup menjadi kebiasaan. Hasil yang diperlukan dari penerapan teori behavioristik ini ialah tebentuknya suatu sikap yang diinginkan. Dimana sikap yang diinginkan menerima penguatan positif dan sikap yang kurang sesuai, menerima penghargaan negatif. Dalam hal ini, penilaian atau penilaian didasari atas sikap yang tampak/kelihatan.

 
C. Implikasi Teori Behavioral Klasik Dalam Pendidikan

Penerapan teori behaviroristik yang salah dalam suatu situasi pembelajaran juga menimbulkan terjadinya proses pembelajaran yang sangat tidak menyenangkan bagi siswa yaitu guru sebagai sentral, bersikap otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih dan menentukan apa yang harus dipelajari murid. Murid dipandang pasif, perlu motivasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan guru. Murid hanya mendengarkan dengan tertib klarifikasi guru dan menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara berguru yang efektif. Penggunaan eksekusi yang sangat dihindari oleh para tokoh behavioristik justru dianggap sebagai metode yang paling efektif untuk menertibkan siswa.

DAFTAR PUSTAKA
  1. Crow, D. Lester, .Crow, Alice: Kasijan Z.. Psikologi Pendidikan. PT. Bina Ilmu. 1984
  2. Djamarah, Syaiful Bahri. Psikologi Belajar. Rineka Cipta. 2002.
  3. Eggen ,P., Kauchak, D.. Educational Psychology,Third Edition. Prentice Hall. 1997.
  4. Syah, Muhibbin. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, edisi Revisi. Remaja Rosdakarya, 1997.
  5. Suryabrata, S..Psikologi Pendidikan. PT. Raja Grafindo Persada. 1995.
  6. http://www.psikomedia.com/article/article/Psikologi-Pendidikan/1057/Teori-Psikologi-Belajar-dan-Aplikasinya-Dalam-Pendidikan/ (diunduh pada tanggal 24 Desember 2011).
Related Posts