Pendidikan Lingkungan Hidup: Duduk, Diam, Dan Bercerminlah

Pendidikan Lingkungan Hidup: Duduk, Diam, dan Bercerminlah.

Pendidikan Lingkungan Hidup: Duduk, Diam, dan Bercerminlah- Sejak 2001, disaat pertama kali kawan-kawan pegiat PLH di Kaltim berkumpul, telah lahir aneka macam gagasan dan jadwal yang harus diselesaikan. Namun lantaran bukan menjadi PRIORITAS, maka hal ini menjadi potongan yang dilupakan.

Di tahun 2005, geliat PLH masih bergerak-gerak ditempat. Bagi yang mempunyai dana, muatan lokal menjadi sebuah pilihan, lantaran akan lebih gampang mengukur indikator keberhasilannya. Bagi yang tidak mempunyai dana, mencoba tertatih-tatih di ruang sempit untuk tetap berjalan sesuai dengan harapan bahu-membahu dari PLH, yaitu membangun generasi yang mempunyai KESADARAN KRITIS hingga alhasil mencapai tingkat kesadaran tertinggi dan terdalam, yakni ? KESADARANNYA KESADARAN.

Kepentingan untuk PERCEPATAN PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP, haruslah dimaknai bukan untuk mengELIMINASI pondasi dasar PLH. Tidak kokohnya pondasi akan menimbulkan kehancuran sebuah bangunan, semewah apapun ia. Kehausan akan sasaran proyek, capaian indikator, pekerjaan, hanya akan menjadikan PLH sebagai sebuah obyek mainan baru, bukan lagi sebagai sebuah nilai yang sedang dibangun bagi generasi kemudian negeri ini.

BERCERMINLAH untuk sekedar meREFLEKSIkan diri. Ini yang penting dilakukan oleh pegiat PLH.

Bukan untuk berlari mengejar ketertinggalan. Tidak harus cepat mencapai garis akhir. Berjalan perlahan dengan semangat kebersamaan akan lebih menghasilkan nilai yang tertancap pada ruang yang terdalam di diri.

Pengertian pendidikan lingkungan hidup
  telah lahir aneka macam gagasan dan jadwal yang harus diselesaikan Pendidikan Lingkungan Hidup: Duduk, Diam, dan Bercerminlah
Pengertian pendidikan lingkungan hidup. Manusia terdiri atas pikiran dan rasa dimana keduanya harus digunakan. Rasa menjadi penting digerakkan terlebih dahulu, lantaran seringkali dilupakan. Bagaimana memulai pendidikan lingkungan hidup?

Pendidikan Lingkungan Hidup harus dimulai dari HATI. Tanpa perilaku mental yang tepat, semua pengetahuan dan keterampilan yang diberikan hanya akan menjadi sampah semata.

Untuk membangkitkan kesadaran insan terhadap lingkungan hidup di sekitarnya, proses yang paling penting dan harus dilakukan ialah dengan menyentuh hati. Jika proses penyadaran telah terjadi dan perubahan perilaku dan contoh pikir terhadap lingkungan telah terjadi, maka sanggup dilakukan peningkatan pengetahuan dan pemahaman mengenai lingkungan hidup, serta peningkatan keterampilan dalam mengelola lingkungan hidup

Pendidikan Lingkungan Hidup: dalam buku catatan
Pada tahun 1986, pendidikan lingkungan hidup dan kependudukan dimasukkan ke dalam pendidikan formal dengan dibentuknya mata pelajaran ?Pendidikan kependudukan dan lingkungan hidup (PKLH)?. Depdikbud merasa perlu untuk mulai mengintegrasikan PKLH ke dalam semua mata pelajaran

Pada jenjang pendidikan dasar dan menegah (menengah umum dan kejuruan), penyampaian mata asuh perihal kasus kependudukan dan lingkungan hidup secara integratif dituangkan dalam sistem kurikulum tahun 1984 dengan memasukkan masalah-masalah kependudukan dan lingkungan hidup ke dalam hampir semua mata pelajaran. Sejak tahun 1989/1990 hingga ketika ini aneka macam training perihal lingkungan hidup telah diperkenalkan oleh Departemen Pendidikan Nasional bagi guru-guru SD, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengan Atas termasuk Sekolah Kejuruan.

Di tahun 1996 terbentuk Jaringan Pendidikan Lingkungan (JPL) antara LSM-LSM yang berminat dan menaruh perhatian terhadap pendidikan lingkungan. Hingga tahun 2004 tercatat 192 anggota JPL yang bergerak dalam pengembangan dan pelaksanaan pendidikan lingkungan.

Selain itu, terbit Memorandum Bersama antara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 0142/U/1996 dan No Kep: 89/MENLH/5/1996 perihal Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan Lingkungan Hidup, tanggal 21 Mei 1996. Sejalan dengan itu, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Depdikbud juga terus mendorong pengembangan dan pemantapan pelaksanaan pendidikan lingkungan hidup di sekolah-sekolah antara lain melalui penataran guru, penggalakkan bulan bakti lingkungan, penyiapan Buku Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH) untuk Guru SD, SLTP, SMU dan SMK, jadwal sekolah asri, dan lain-lain. Sementara itu, LSM maupun perguruan tinggi tinggi dalam membuatkan pendidikan lingkungan hidup melalui kegiatan seminar, sararasehan, lokakarya, penataran guru, pengembangan sarana pendidikan menyerupai penyusunan modul-modul integrasi, buku-buku bacaan dan lain-lain.

Pada tanggal 5 Juli 2005, Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Pendidikan Nasional mengeluarkan SK bersama nomor: Kep No 07/MenLH/06/2005 No 05/VI/KB/2005 untuk pembinaan dan pengembangan pendidikan lingkungan hidup. Di dalam keputusan bersama ini, sangat ditekankan bahwa pendidikan lingkungan hidup dilakukan secara integrasi dengan mata aliran yang telah ada.

Pendidikan Lingkungan Hidup: materi dasar yang dilupakan
Salah satu puncak perkembangan pendidikan lingkungan ialah dirumuskannya tujuan pendidikan lingkungan hidup berdasarkan UNCED ialah sebagai berikut:

Pendidikan lingkungan Hidup (environmental education – EE) ialah suatu proses untuk membangun populasi insan di dunia yang sadar dan peduli terhadap lingkungan total (keseluruhan) dan segala kasus yang berkaitan dengannya, dan masyarakat yang mempunyai pengetahuan, ketrampilan, perilaku dan tingkah laku, motivasi serta komitmen untuk bekerja sama , baik secara individu maupun secara kolektif , untuk sanggup memecahkan aneka macam kasus lingkungan ketika ini, dan mencegah timbulnya kasus gres [UN - Tbilisi, Georgia - USSR (1977) dalam Unesco, (1978)]

PLH memasukkan aspek afektif yaitu tingkah laku, nilai dan komitmen yang dibutuhkan untuk membangun masyarakat yang berkelanjutan (sustainable). Pencapaian tujuan afektif ini biasanya sukar dilakukan. Oleh lantaran itu, dalam pembelajaran guru perlu memasukkan metode-metode yang memungkinkan berlangsungnya penjelasan dan internalisasi nilai-nilai. Dalam PLH perlu dimunculkan atau dijelaskan bahwa dalam kehidupan kasatmata memang selalu terdapat perbedaan nilai-nilai yang dianut oleh individu. Perbedaan nilai tersebut sanggup mempersulit untuk derive the fact, serta sanggup menimbulkan kontroversi/pertentangan pendapat. Oleh lantaran itu, PLH perlu menunjukkan kesempatan kepada siswa untuk membangun ketrampilan yang sanggup meningkatkan kemampuan memecahkan masalah.

Beberapa ketrampilan yang dibutuhkan untuk memecahkan kasus ialah sebagai berikut ini.
* Berkomunikasi: mendengarkan, berbicara di depan umum, menulis secara persuasive, desain grafis;
* Investigasi (investigation): merancang survey, studi pustaka, melaksanakan wawancara, menganalisa data;
* Ketrampilan bekerja dalam kelompok (group process): kepemimpinan, pengambilan keputusan dan kerjasama.

Pendidikan lingkungan hidup haruslah:
1. Mempertimbangkan lingkungan sebagai suatu totalitas — alami dan buatan, bersifat teknologi dan sosial (ekonomi, politik, kultural, historis, moral, estetika);
2. Merupakan suatu proses yang berjalan secara terus menerus dan sepanjang hidup, dimulai pada jaman pra sekolah, dan berlanjut ke tahap pendidikan formal maupun non formal;
3. Mempunyai pendekatan yang sifatnya interdisipliner, dengan menarik/mengambil isi atau ciri spesifik dari masing-masing disiplin ilmu sehingga memungkinkan suatu pendekatan yang holistik dan perspektif yang seimbang.
4. Meneliti (examine) issue lingkungan yang utama dari sudut pandang lokal, nasional, regional dan internasional, sehingga siswa sanggup mendapatkan insight mengenai kondisi lingkungan di wilayah geografis yang lain;
5. Memberi tekanan pada situasi lingkungan ketika ini dan situasi lingkungan yang potensial, dengan memasukkan pertimbangan perspektif historisnya;
6. Mempromosikan nilai dan pentingnya kerjasama lokal, nasional dan internasional untuk mencegah dan memecahkan masalah-masalah lingkungan;
7. Secara eksplisit mempertimbangkan/memperhitungkan aspek lingkungan dalam planning pembangunan dan pertumbuhan;
8. Memampukan akseptor didik untuk mempunyai tugas dalam merencanakan pengalaman berguru mereka, dan memberi kesempatan pada mereka untuk membuat keputusan dan mendapatkan konsekuensi dari keputusan tersebut;
9. Menghubungkan (relate) kepekaan kepada lingkungan, pengetahuan, ketrampilan untuk memecahkan kasus dan penjelasan nilai pada setiap tahap umur, tetapi bagi umur muda (tahun-tahun pertama) diberikan tekanan yang khusus terhadap kepekaan lingkungan terhadap lingkungan kawasan mereka hidup;
10. Membantu akseptor didik untuk menemukan (discover), gejala-gejala dan penyebab dari kasus lingkungan;
11. Memberi tekanan mengenai kompleksitas kasus lingkungan, sehingga dibutuhkan kemampuan untuk berfikir secara kritis dengan ketrampilan untuk memecahkan masalah.
12. Memanfaatkan beraneka ragam situasi pembelajaran (learning environment) dan aneka macam pendekatan dalam pembelajaran mengenai dan dari lingkungan dengan tekanan yang berpengaruh pada kegiatan-kegiatan yang sifatnya simpel dan menunjukkan pengalaman secara pribadi (first – hand experience).

Lihat juga : Pendidikan Luar Sekolah
 
Karena pribadi mengkaji kasus yang nyata, PLH sanggup mempermudah pencapaian ketrampilan tingkat tinggi (higher order skill) menyerupai :
1. Berfikir kritis
2. Berfikir kreatif
3. Berfikir secara integratif
4. Memecahkan masalah.

Persoalan lingkungan hidup merupakan duduk kasus yang bersifat sistemik, kompleks, serta mempunyai cakupan yang luas. Oleh alasannya itu, materi atau warta yang diangkat dalam penyelenggaraan kegiatan pendidikan lingkungan hidup juga sangat beragam. Sesuai dengan komitmen nasional perihal Pembangunan Berkelanjutan yang ditetapkan dalam Indonesian Summit on Sustainable Development (ISSD) di Yogyakarta pada tanggal 21 Januari 2004, telah ditetapkan 3 (tiga) pilar pembangunan berkelanjutan yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Ketiga pilar tersebut merupakan satu kesatuan yang bersifat saling ketergantungan dan saling memperkuat. Adapun inti dari masing-masing pilar ialah :
1. Pilar Ekonomi: menekankan pada perubahan sistem ekonomi semoga semakin ramah terhadap lingkungan hidup sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Isu atau materi yang berkaitan adalah: Pola konsumsi dan produksi, Teknologi bersih, Pendanaan/pembiayaan, Kemitraan usaha, Pertanian, Kehutanan, Perikanan, Pertambangan, Industri, dan Perdagangan
2. Pilar Sosial: menekankan pada upaya-upaya pemberdayaan masyarakat dalam upaya pelestarian lingkungan hidup. Isu atau materi yang berkaitan adalah: Kemiskinan, Kesehatan, Pendidikan, Kearifan/budaya lokal, Masyarakat pedesaan, Masyarakat perkotaan, Masyarakat terasing/terpencil, Kepemerintahan/kelembagaan yang baik, dan Hukum dan pengawasan
3. Pilar Lingkungan: menekankan pada pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang berkelanjutan. Isu atau materi yang berkaitan adalah: Pengelolaan sumberdaya air, Pengelolaan sumberdaya lahan, Pengelolaan sumberdaya udara, Pengelolaan sumberdaya maritim dan pesisir, Energi dan sumberdaya mineral, Konservasi satwa/tumbuhan langka, Keanekaragaman hayati, dan Penataan ruang

Kesadaran subyektif dan kemampuan obyektif ialah suatu fungsi dialektis yang ajeg (constant) dalam diri insan dalam hubungannya dengan kenyataan yang saling bertentangan yang harus dipahaminya. Memandang kedua fungsi ini tanpa dialektika semacam itu, bisa menjebak kita ke dalam kerancuan berfikir. Obyektivitas pada pengertian si penindas bisa saja berarti subyektivitas pada pengertian si tertindas, dan sebaliknya. Kaprikornus kekerabatan dialek tersebut tidak berarti duduk kasus mana yang lebih benar atau yang lebih salah. Oleh lantaran itu, pendidikan harus melibatkan tiga unsur sekaligus dalam kekerabatan dialektisnya yang ajeg, yakni: Pengajar, Pelajar atau anak didik, dan Realitas dunia. Yang pertama dan kedua ialah subyek yang sadar (cognitive), sementara yang ketiga ialah obyek yang tersadari atau disadari (cognizable). Hubungan dialektis semacam inilah yang tidak terdapat pada sistem pendidikan mapan selama ini.

Dengan kata lain, langkah awal yang paling memilih dalam upaya pendidikan pembebasannya Freire yakni suatu proses yang terus menerus, suatu ?commencement?, yang selalu ?mulai dan mulai lagi?, maka proses penyadaran akan selalu ada dan merupakan proses yang sebati (in erent) dalam keseluruhan proses pendidikan itu sendiri. Maka, proses penyadaran merupakan proses inti atau hakikat dari proses pendidikan itu sendiri. Dunia kesadaran seseorang memang dihentikan berhenti, mandeg, ia senantiasa harus terus berproses, berkembang dan meluas, dari satu tahap ke tahap berikutnya, dari tingkat ?kesadaran naif? hingga ke tingkat ?kesadaran kritis?, hingga alhasil mencapai tingkat kesadaran tertinggi dan terdalam, yakni ?kesadarannya kesadaran? (the consice of the consciousness).

Joseph Cornell, seorang pendidik alam (nature educator) yang populer dengan permainan di alam yang dikembangkannya sangat memahami psikologi ini. Sekitar tahun 1979 ia membuatkan konsep berguru beralur (flow learning).

Berbagai kegiatan atau permainan disusun sedemikian rupa untuk menyingkronkan proses berguru di dalam pikiran, rasa, dan gerak. Ia merancang sedemikian rupa semoga kondisi emosi anak dalam keadaan sebaik-baiknya pada ketika mendapatkan hal-hal yang penting dalam belajar.
Aspek-aspek yang perlu diperhatikan adalah:
* Aspek afektif: perasaan nyaman, senang, bersemangat, kagum, puas, dan bangga
* Aspek kognitif: proses pemahanan, dan menjaga keseimbangan aspek-aspek yang lain
* Aspek sosial: perasaan diterima dalam kelompok
* Aspek sensorik dan monotorik: bergerak dan mencicipi melalui indera, melibatkan akseptor sebanyak mungkin
* Aspek lingkungan: suasanan ruang atau lingkungan
Pendidikan Lingkungan Hidup: terjerumus di jurang pembebanan baru

Pendidikan ketika ini telah menjadi sebuah industri. Bukan lagi sebagai sebuah upaya pembangkitan kesadaran kritis. Hal ini menimbulkan terjadinya praktek jual-beli gelar, jual-beli ijasah hingga jual-beli nilai. Belum lagi diakibatkan kurangnya pertolongan pemerintah terhadap kebutuhan kawasan belajar, telah menjadikan tumbuhnya bisnis-bisnis pendidikan yang mau tidak mau semakin membuat rakyat yang tidak bisa semakin terpuruk. Pendidikan hanyalah bagi mereka yang telah mempunyai ekonomi yang kuat, sedangkan bagi kalangan miskin, pendidikan hanyalah sebuah mimpi.

Dunia pendidikan sebagai ruang bagi peningkatan kapasitas anak bangsa haruslah dimulai dengan sebuah cara pandang bahwa pendidikan ialah potongan untuk membuatkan potensi, daya pikir dan daya nalar serta pengembangan kreatifitas yang dimiliki. Sistem pendidikan yang mengebiri ketiga hal tersebut hanyalah akan membuat keterpurukan sumberdaya insan yang dimiliki bangsa ini yang hanya akan menjadikan Indonesia tetap terjajah dan tetap di bawah ketiak bangsa asing.

Pada dua tahun terakhir, PLH di Kalimantan Timur sangatlah berjalan perlahan ditengah hiruk pikuk penghabisan kekayaan alam Kaltim. Inisiatif-inisiatif gres bermunculan. Kota Balikpapan memulai, dengan dibantu oleh Program Kerjasama Internasional, lahirlah kurikulum pendidikan kebersihan dan lingkungan yang menjadi salah satu muatan lokal. Diikuti kemudian oleh Kabupaten Nunukan. Sementara ketika ini sedang dalam proses ialah Kota Samarinda, Kabupaten Malinau dan Kota Tarakan. Kesemua wilayah ini terdorong ke arah ?jurang? hadirnya muatan lokal beraroma pendidikan lingkungan hidup.

Tak ada yang salah dengan muatan lokal. Namun sangat disayangkan dalam proses-proses yang dilakukan sangat meninggalkan prinsip-prinsip dari Pendidikan Lingkungan Hidup itu sendiri. Nuansa hasil yang berwujud (buku, modul, kurikulum), sangat terasa dalam setiap acara pembuatannya. Perangkat-perangkat pendukung masih sangat jauh mengikutinya.

Pendidikan Lingkungan Hidup hari ini, bisa jadi mengulang pada insiden beberapa tahun yang lalu, ketika PKLH mulai diluncurkan. Statis, monolitik, membunuh kreatifitas. Prasyarat yang belum mencukupi yang kemudian dipaksakan, berakhir pada putus asa berkelanjutan.

Sangat penting dipahami, bahwa contoh Cara Belajar Siswa Aktif, Kurikulum Berbasis Kompetensi, dan aneka macam teknologi pendidikan lainnya yang dikembangkan, kesemuanya bermuara pada kapasitas seorang guru. Kemampuan berekspresi dan berkreasi sangat dibutuhkan dalam membuatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Bila tidak, lupakanlah.
 Lihat juga: Alasan mengapa anak suka berbohong
 
Demikian pula dengan PLH, sangat dibutuhkan kapasitas guru yang bisa membangitkan kesadaran kritis. Bukan sekedar untuk memicu kreatifitas siswa. Kesadaran kritis inilah yang alhasil akan tereliminasi disaat PLH diperangkap dalam kurikulum muatan lokal. Siswa akan kembali berada dalam ruang statis, mengejar nilai semu, dan memperoleh pembebanan baru.

Demikianlah  Pendidikan Lingkungan Hidup: Duduk, Diam, dan Bercerminlah semoga bermanfaat.

0 Response to "Pendidikan Lingkungan Hidup: Duduk, Diam, Dan Bercerminlah"

Posting Komentar