Pokok-Pokok Filsafat Perihal Akar Metafisika Dan Legalisasi Kebebalan Pekan I Wawasan Membenahi Kehidupan

Pokok-Pokok Filsafat Tentang Akar Metafisika dan Pengakuan Kebebalan Pekan I Wawasan Membenahi Kehidupan- BAGIAN SATU: AKAR METAFISIKA DAN PENGAKUAN KEBEBALAN
Pekan I

Wawasan: Membenahi Kehidupan
1. Apakah Filsafat Itu?
Saudara-saudara, apakah filsafat itu? Saya awali kuliah ini dengan meminta anda menjawabnya.
"Bodoh," mungkin anda pikir, "kami menempuh matakuliah ini sebab tidak tahu apakah filsafat itu, jadi mengapa anda mengharap kami menjawab pertanyaan yang mendasar mirip itu pada menit-menit pertama kita?"

Percayalah! Sepuluh atau limabelas menit pertama yang kita sita untuk menjawab pertanyaan tersebut akan menjadi awal yang baik demi pemahaman kita wacana apakah filsafat itu. Sekarang, bila benak anda kosong, cobalah berpikir mengenai apa yang sedang kita lakukan dikala ini. Apa yang sedang kita kerjakan pada detik ini yang berbeda dengan yang kita perbuat di matakuliah lain?
Mahasiswa. "Hmm."

Ayo, siapa yang ingin menjadi orang pertama? Jangan malu! … Tahukah kalian, ketika pertama kali saya ajarkan kuliah ini, mahasiswa pertama yang mencoba menjawab pertanyaan tersebut risikonya memperoleh nilai "A"! Kini, siapa yang suka menjadi orang pertama?

Mahasiswa A. "Berpikir. Kita sedang berpikir. Apakah filsafat itu wacana berpikir?"
Ya. Memang itulah kiprah pokok filsuf. Omong-omong, ketika saya mengajar kuliah ini untuk kedua kalinya, mahasiswa pertama yang mencoba menjawab pertanyaan tersebut risikonya mendapat nilai "D". Jadi, jangan harap nilai "A" itu mudah! Sesungguhnya, kita sering berpikir dengan cara yang tidak "filosofis". Jadi, apa perbedaan antara berpikir secara filosofis dan berpikir secara lain?

Mahasiswa B. "Filsafat itu abstrak. Tidak ada balasan yang pasti. Setiap orang punya inspirasi sendiri-sendiri wacana duduk kasus filosofis, dan tak seorang pun sanggup mengklaim bahwa ia mempunyai kebenaran yang mutlak."
Pokok Filsafat Tentang Akar Metafisika dan Pengakuan Kebebalan Pekan I Wawasan Membenahi K Pokok-Pokok Filsafat Tentang Akar Metafisika dan Pengakuan Kebebalan Pekan I Wawasan Membenahi Kehidupan

Itu pandangan yang sangat umum. Banyak argumen filosofis yang memang abstrak, namun bukankah benar pula bahwa filsafat adakala sangat konkret dan juga praktis? Bahkan, saya lebih cenderung mengatakan: balasan yang terang terhadap sebagian besar pertanyaan filosofis terlalu banyak. Namun biarlah kami nyatakan sendiri, anda telah mendapat suatu ciri khas duduk kasus filosofis yang membedakannya dari kebanyakan perburuan intelektual lainnya. Tidak peduli berapa kali pertanyaan terjawab, kelihatannya selalu ada sesuatu yang masih misterius. Karenanya, pada pandang pertama, filsafat menjadi sangat berbeda dengan ilmu pengetahuan.

Namun demikian, mari kita amati terus apa yang kita lakukan dikala ini, dan kita mencoba menangkap menandakan yang lebih jitu wacana alam filsafat. Beberapa filsuf mengutarakan bahwa dalam filsafat, sebagaimana dalam kehidupan kita sendiri, "kita membangun bahtera di tempat kita mengapungkannya." Lantas, apa yang — ya?
Mahasiswa C. "Pertanyaan dan jawaban. Apakah filsafat ada hubungannya dengan pertanyaan dan jawaban?"
Tentu saja. Pada kenyataannya, unsur-unsur filsafat dan bahkan aliran-aliran filsafat yang berlainan bisa dibedakan dengan memperhatikan perbedaan tipe pertanyaan yang diajukan. Akan tetapi, semua disiplin akademis pun menghajatkan pertanyaan dan jawaban. Jadi, apa yang membedakan pertanyaan filosofis dari tipe-tipe lainnya? Apa yang saya upayakan dikala ini dengan meminta anda memikirkan pertanyaan “Apakah filsafat itu?”, dan mengapa saya tidak puas dengan balasan yang sederhana, mirip "filsafat yaitu berpikir"?
Mahasiswa D. "Karena anda berusaha membujuk kami untuk melihat hal-hal yang terdapat di bawah permukaan. Kita semua tahu bahwa para filsuf banyak berpikir, tetapi anda berupaya mendorong kami untuk menatap makna yang lebih dalam."
Tepat. Alasan mengapa pertanyaan yang diajukan dalam kebanyakan disiplin akademis lain sanggup dijawab dengan lebih niscaya ialah sebab balasan non-filosofis biasanya hanya mempedulikan permukaan. Para filsuf, sekurang-kurangnya filsuf yang baik, tidak puas hingga mereka menggali sedalam-dalamnya duduk kasus yang mereka usikan sendiri. Kadang-kadang, gagasan filosofis sulit dipahami bukan sebab terlalu abstrak, terlampau melayang jauh dari kehidupan kita sehari-hari, melainkan justru sebab teramat konkret! Filsafat ada kalanya menyentuh sedemikian-dalam hal-hal yang tak terpahami oleh kita sebab obyek pembahasan itu terlalu akrab dengan kehidupan kita. 

Pernahkah anda mencoba melihat mata kanan anda dengan mata kiri anda?
Mahasiswa E. "Bisakah anda memberi kami satu pola pertanyaan yang filosofis?"
Bisa, bahkan lebih dari satu. Saya akan mengemukakan empat pola pertanyaan yang diajukan oleh filsuf-filsuf yang baik. Secara demikian, saya mengantarkan anda ke sesuatu yang saya yakini sebagai empat unsur utama dalam bidang filsafat. Dua unsur awal bersifat teoretis. Unsur pertama ialah metafisika; pertanyaan yang memutuskan kiprah metafisika yaitu "Apa yang pada hakikatnya nyata?". Memeriksa balasan atas pertanyaan ini merupakan kewajiban kita dalam Bagian Satu matakuliah ini. Bagian Dua berkenaan dengan unsur kedua, logika; penentuan persoalannya bisa diungkap sebagai "Bagaimana kita memahami makna kata-kata?"

Dua unsur final bersifat praktis. Unsur ketiga sanggup disebut "filsafat terapan". Nah, penerapan kata-kata bermakna itu mestinya mengakibatkan pengetahuan; kata Inggris "science" berasal dari kata Latin sciens yang berarti "mengetahui", sehingga kita bisa menamakan unsur ketiga ini science (ilmu), [1] asalkan kita ingat bahwa kita memakai kata ini bukan mirip yang biasanya dimengerti dalam bahasa sehari-hari. Pertanyaan filosofis mengenai ilmu yaitu "Di manakah garis tapal batas yang sempurna antara pengetahuan dan kebebalan?". Unsur keempat ialah ontologi, yang mengajukan pertanyaan "Apa maksud keberadaannya?" Dengan menanyakan dan menjawab pertanyaan ontologis, kita berharap meningkatkan pahaman kita wacana sifat dasar banyak sekali benda (umpamanya, Tuhan, manusia, hewan), atau tipe pengalaman yang berlainan (contohnya, keindahan, cinta, kematian).

Pada matakuliah ini kita berkesempatan untuk mencari balasan atas keempat pertanyaan tersebut, sehingga memperhatikan kekerabatan masing-masing sebagai satu keseluruhan bisa bermanfaat. Untuk mengungkap pandangan-pandangan dalam bentuk yang sederhana, namun sistematis, salah satu alat-bantu pengajaran kegemaran saya, mirip yang akan segera anda jumpai, yaitu diagram-diagram terutama salib, segitiga, dan lingkaran. Pada Pekan V, kita akan melihat bahwa semua diagram [di buku ini] dibangun berdasarkan pola logis tertentu. Akan tetapi, untuk dikala ini, kita hanya memperlakukannya sebagai seperangkat cara yang gampang untuk melihat pertalian antara rangkaian istilah-istilah tersebut. Mari kita manfaatkan sepotong salib sebagai homogen "peta" untuk matakuliah kita dengan menempatkan keempat unsur filsafat pada keempat ujungnya, sebagaimana tergambar di bawah ini:
                           IV. ontologi:
                            Apa maksud
                          keberadaannya?
                  filsafat
                   praktis
     III. ilmu:                                    I. metafisika
   Di mana garis                                   Apa yang pada
batas pengetahuan?                               hakikatnya nyata?
                                         filsafat
                                         teoretis
                            II. logika:
                     Bagaimana kita memahami
                         makna kata-kata?
Tentu saja, kita akan mengajukan banyak pertanyaan filosofis lain pada kuliah-kuliah [di buku] ini, tetapi sifat mendasar keempat duduk kasus tersebut perlu diakui.
Mahasiswa F. "Hari ini anda beberapa kali mengacu pada 'filsuf yang baik'. Kedengarannya agak gegabah. Apakah anda menyiratkan bahwa ada 'filsuf yang buruk'? Apakah anda berhak menghakimi pendapat orang lain sebagai baik atau buruk? Betapapun juga, setiap orang mempunyai hak atas pendapat mereka sendiri!"
Ya, memang benar. Akan tetapi, perbedaan antara filsuf yang baik dan yang jelek tidak berkaitan dengan "opini". Ini mengenai penalaran. Nalar memungkinkan kita untuk membedakan yang baik dari yang buruk, tetapi tanpa perlu menghujat. Maka, saya berujar: memang ada filsuf yang buruk. Pada kenyataannya, sepertinya sayangnya seolah-olah filsuf yang jelek lebih banyak daripada yang baik. Jadi, jangan terkejut bila anda menyimak saya mengucapkan kata-kata sedemikian itu pada kuliah-kuliah kita ini. Namun demikian, saya harap anda tidak merasa terhina. Kata "baik" dan "buruk" di sini tidak dimaksudkan sebagai evaluasi moral. Bahkan, bagi saya istilah-istilah ini mengacu pada filsuf-filsuf yang menyandang kiprah filsafat dengan cara yang seimbang, yang berlawanan dengan mereka yang percaya bahwa bidang perhatian filsafat yang bekerjsama itu sangat sempit atau sangat luas. Biar saya perjelas lagi, apa yang saya maksud dengan pembedaan ini.

Ada tiga arah pemahaman kiprah filsafat. Yang pertama memandang kiprah filsafat sebagai penggunaan pemikiran logis untuk memecahkan masalah-masalah yang sukar, melalui penjernihan konsep-konsep kita. Pada filsafat Barat masa keduapuluh, pandangan ini diangkat sebagai ciri khas aliran "filsafat analitik", yang dalam banyak sekali wujudnya selama seabad ini mendominasi wacana yang berbahasa Inggris. Para filsuf analitik cenderung menganggap filsuf sebagai homogen profesi ilmiah yang istimewa; mereka setiap-waktu menolak terang-terangan gagasan bahwa filsafat itu berkaitan erat dengan kehidupan kita sehari-hari.

Arah filsafat yang kedua menempati ancangan yang berlawanan, dengan memandang filsafat sebagai jalan hidup, sehingga kiprah filsafat berkisar pada pemahaman hakikat dan tujuan keberadaan insan beserta segala kerumitannya. Pada filsafat Barat masa keduapuluh, pandangan ini diangkat sebagai ciri khas aliran "eksistensialisme", yang dalam banyak sekali wujudnya selama seabad ini mendominasi wacana yang berbahasa non-Inggris. Para filsuf eksistensialis cenderung menganggap filsafat sebagai disiplin-studi biasa yang mencakup hampir segala hal yang sanggup membantu kita menjalani hidup dengan lebih benar atau lebih "otentik"; namun dalam prosesnya, tulisan-tulisan yang mereka susun wacana kehidupan semacam itu acapkali gelap sekali, sehingga pembaca awam amat kesulitan dalam memahaminya.

Arah filsafat yang ketiga mengakui bahwa kedua pendapat tadi dibutuhkan untuk menggagas kiprah filosofik dengan tepat. Filsuf yang baik mengikuti arah yang ketiga ini, dengan meyakini bahwa tujuan penjernihan konsep-konsep mengarah ke jalan hidup tertentu, dan bahwa klarifikasi jalan hidup ini harus diungkap dengan gamblang dan jangan hingga terjerembab ke jurang kegelapan. Filsafat yang tidak ditatap sebagai jalan hidup kelihatannya lebih mirip ilmu yang bersifat teknis, sedangkan filsafat yang tidak menghajatkan upaya keras untuk menjernihkan konsep-konsep sepertinya lebih mirip agama yang bersifat mistis. Padahal, filsafat, sekurang-kurangnya filsafat yang baik, bukanlah ilmu dan juga bukan agama, melainkan disiplin unik yang tegak di atas tapal batas antara keduanya. Karenanya, kita sanggup menggambarkan kekerabatan antara tiga tipe filsafat tersebut dengan memetakannya pada sepotong segitiga sederhana sebagai berikut:
filsafat analitik:
penjernihan konsep

Pokok-Pokok Filsafat Tentang Akar Metafisika dan Pengakuan Kebebalan Pekan I Wawasan Membenahi Kehidupan

                  filsafat “yang baik”
                  sintesis keduanya

eksistensialisme:
jalan hidup
Untuk lerbih lengkap silahkan unduh saja artikelnya dibawah ini : 

Pokok-Pokok Filsafat Tentang Akar Metafisika dan Pengakuan Kebebalan Pekan I Wawasan Membenahi Kehidupan [DOWNLOAD]

Omong-omong, barangkali filsuf analitik "yang baik" sama banyaknya (atau sama sedikitnya!) dengan filsuf eksistensial "yang baik". Filsuf analitik yang baik ialah yang bisa berbahasa dengan gamblang tanpa kehilangan wawasan terhadap bidikan-puncak pembelajaran, yakni untuk hidup dengan lebih baik. Sebaliknya, filsuf eksistensialis yang baik ialah yang sanggup mengarahkan perhatian kita ke bidikan-puncak itu tanpa penggunaan bahasa yang ruwet atau menyesatkan, yang hanya mengaburkan kebenaran. Maksud saya, bolehjadi pendekatan terbaik untuk memandang filsafat yaitu tidak sekedar berakar pada salah satu dari kedua tipe tersebut, tetapi justru berdiri di atas keduanya secara seimbang.
Nah, jam pertama ini hampir habis, namun masih ada waktu untuk satu saran lagi wacana bagaimana kita bisa menjawab pertanyaan utama kita tadi. Saya penasaran, kalau-kalau ada di antara kalian yang mempunyai sepenggal balasan yang berbeda dengan jawaban-jawaban yang telah diutarakan sejauh ini. Kita intinya gres membahas secuil kemungkinan jawaban, padahal filsafat itu mengenai banyak hal.
Mahasiswa G. "Saya pikir selalu, filsafat itu berkenaan dengan perilaku takjub (wonder)."
Ketakjuban macam apa? Apakah maksud anda hanya terdiam dan melamun? Ataukah terbersit dalam benak anda sesuatu mirip Alice di Negeri Ajaib?
Mahasiswa G. "Saya rasa tidak. Saya pikir, perilaku takjub itu semacam semangat berguru untuk menuju kebenaran. Bukankah para filsuf tertarik pada upaya untuk menilik mengapa benda-benda berada sedemikian rupa?"
Memang begitulah! Sebenarnya, kata "filsafat" itu sendiri berasal dari dua kata Yunani "philos" (mencintai) dan "sophos" (kealiman). [2] Jadi, secara harfiah, filsafat itu merujuk pada pencarian secara tak jemu-jemu kebenaran dan penerapannya yang pas pada kehidupan kita. Pencarian ini niscaya berkobar dengan semangat "ketakjuban". Oh ya, saya tidak bergurau kala mengacu pada Alice in Wonderland. Ceriteranya penuh dengan gagasan filosofis yang menarik!

Oh ya, tentu saja kita belum selesai menjawab pertanyaan kita. Pertanyaan "Apakah filsafat itu?" memang akan selalu ada di benak kita di sepanjang matakuliah ini. Jika kita bisa menjawab tuntas hari ini, maka hingga di sini saja kuliah kita, dan tigapuluh-lima kuliah sisanya tidak kita perlukan. Akan tetapi, ternyata kita masih jauh dari hal itu. Alih-alih, saya ingin sekali mengakibatkan kesan kepada anda bahwa hingga perkuliahan Pengantar Filsafat ini berakhir (mudah-mudahan) anda kurang tahu akan filsafat daripada sebelum anda memasuki kelas hari ini! 

Saya mengatakannya karena, mirip yang akan kita ulas, pada aktualnya filsafat berawal dengan legalisasi kebebalan. Alasan mengawali kuliah pengantar [filsafat] dengan menelaah metafisika tepatnya yaitu bahwa metafisika sanggup mengajarkan kita perbedaan antara hal-hal yang bisa kita ketahui dan yang tidak bisa kita ketahui. Hanya bila kita telah mempelajarinya, maka kita siap berguru dari logika wacana bagaimana memperoleh pemahaman kata-kata. Logika terutama mengajarkan kita perbedaan antara makna kata kala mengacu pada sesuatu yang sanggup kita ketahui dan makna kata kala mengacu pada sesuatu yang tidak kita ketahui sama sekali. Segera seusai kita miliki pondasi teoretis ini, kita bisa menerapkan pahaman gres kita dengan cara-cara yang praktis. Kita melakukannya dengan menggapai kebenaran dan pengetahuan yang relevan dengan kehidupan manusia; mencari "ilmu" sejati inilah yang disebut cinta kealiman. Dengan menyayangi kealiman, kita sanggup memasuki tahap-keempat kiprah filsafat tanpa menjadi "tersesat di daerah yang menakjubkan kita", begitulah perumpamaannya. Hal itu sebab kiprah terakhirnya yaitu sungguh-sungguh menghargai perilaku takjub berkeheningan. Dalam pengertian tertentu, semua filsafat berpangkal pada perilaku takjub berkeheningan. Sekalipun begitu, filsafat berujung pada perilaku takjub berkeheningan juga, sebagaimana yang akan kita saksikan pada Bagian Empat matakuliah ini.

Hal itu akan banyak mendorong kita untuk memikirkan pelajaran pertama kita. Jadi, saya simpulkan saja dengan menambahkan bahwa keempat kiprah filsafat yang gres saja saya paparkan tadi bersesuaian secara pas dengan empat "unsur" filsafat yang terlukis pada Gambar 1.1, dan sanggup dipetakan pada salib yang sama sebagai berikut:
               takjub berkeheningan

cinta kealiman                     legalisasi kebebalan

               pemahaman kata-kata

Pokok-Pokok Filsafat Tentang Akar Metafisika dan Pengakuan Kebebalan Pekan I Wawasan Membenahi Kehidupan

Masing-masing itu sebaiknya dipandang sebagai kiprah yang tiada henti, bukan persyaratan yang harus dipenuhi dengan lengkap sebelum melangkah ke tahap berikutnya. Karena alasan ini, kita bisa memandangnya sebagai sasaran-sasaran yang kita menetapkan untuk kita sendiri pada setiap tahap berfilsafat.
Related Posts