Tentang Rasa Suka Dalam Hati
Tentang Rasa Suka Dalam Hati- Nilai yang bagus di sekolah. Pujian yang menciptakan pipi memerah. Gaji di kantor yang mendadak bertambah. Kesembuhan tubuh dari penyakit yang parah. Kepemilikan atas berhektar-hektar tanah. Tanaman di taman yang terawat indah. Anak-anak yang lincah dan meredakan hati gundah. Rumah yang boleh jadi megah lagi mewah. Semuanya masuk daftar hal-hal yang kita sukai.
Lihat juga : Manusia Sampah ? Apakah kita termasuk Manusia Sampah ?
Ah... hal yang menyenangkan. Inilah rupanya yang selalu jadi sasaran kesukaan kita. Jiwa kita senantiasa suka dengan hal-hal yang menyenangkan. Kekayaan disukai lantaran itu menyenangkan. Pujian dicintai lantaran ia menciptakan kita senang. Uang dan harta benda cenderung didamba lantaran semua itu merupakan sumber kesenangan. Setidaknya begitulah yang dirasakan atau dianggap oleh banyak orang. Tanpa kita pernah mempertanyakan ... mengapa bisa menyerupai itu? Sebab apa hal-hal tertentu di luar sana sanggup sedemikian rupa memicu “hormon suka” di dalam diri kita sampai kita condong kepadanya? Adakah ini dipicu oleh kebiasaan kita dalam mempersepsikan sesuatu atau ia bersumber pada naluri primitif di dalam diri kita? Mungkinkah dengan sebuah paradigma gres serta penyesuaian yang berulang-ulang kita bisa menyetel ulang rasa suka dan tidak suka kita? Wah, betapa rumitnya …. Padahal ini cuma problem rasa suka yang biasanya muncul begitu saja.
Tapi, terkadang kita memang menyukai sesuatu …
Tapi, terkadang kita memang menyukai sesuatu …
Siapa yang tak suka sanggup rejeki mendadak berlipat ganda? Atau istri elok yang enak dipandang mata? Begitupun makanan dan minuman yang enak dikecap pengecap dan segar di kerongkongan? Juga kesempatan pesiar ke banyak sekali serpihan dunia? Siapa yang tak mau mendapat itu semua? Karena semuanya memang terasa menyenangkan.
Lihat juga : Kemuliaan perempuan dalam Islam
Semua yang menyenangkan lantas terlihat begitu indah dalam pandangan kita. Dan jiwa kita pun tergerak dan condong kepada hal-hal yang indah itu. Tak kurang al-Qur’an sendiri membuktikan hal ini di dalam percikan ayat-ayatnya yang mulia:Dijadikan indah pada (pandangan) insan kecintaan pada apa-apa yang diingini (hubbush-shahawat), yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah kawasan kembali yang baik (surga). (QS 3 : 14)
Ya, yang demikian itu memang tampak indah dalam pandangan mata. Karena itulah kita menyukainya dan ingin memilikinya. Namun, alangkah relatifnya keindahan dan kesenangan. Apa-apa yang berada di luar diri insan tak satupun yang indah ataupun menyenangkan. Sesuatu di dalam diri kitalah yang menciptakan semua itu terlihat indah. Tanpa adanya syahwat pada diri manusia, segala rupa dan bentuk keindahan tentu menjadi hirau taacuh dan sirna. Sebagaimana juga segala rasa makanan menjadi sama saja jikalau pengecap insan tak dilengkapi indera pengecap. Beragam jenis busuk menjadi tiada bagi orang yang indera pembaunya terganggu. Baginya sungguh tak beda antara busuk minyak wangi dari Paris dengan busuk kentut seorang pemakan petai dan jengkol.
Bukan hal-hal di luar sana yang menciptakan kita condong dan suka, melainkan ”alat” yang tertanam di dalam diri kita sendiri. Syahwat-lah yang telah berfungsi sebagai ”hormon suka” pada diri kita. Sekiranya syahwat tiada, tentu sirna pula segala suka dan kecondongan. Apalah arti kemolekan seorang gadis buat seorang kasim yang dikebiri ataupun buat seorang homo yang syahwatnya telah menjadi abnormal? Begitu pula ketika syahwat sangat terkendali, maka rasa suka dan kesenangan pun kan tereduksi. Itulah yang terjadi pada orang-orang zuhud yang telah menceraikan dunia lantaran mendamba Sang Pencipta. Karena itu, alangkah relatifnya keindahan dan betapa fananya kesenangan.
Jangan ketinggalan lanjutan dari renungan Tentang Rasa, Selanjutnya masih membahas Rasa Suka yang tak sadar selalu hadir dalam jiwa. terimakasih.
Related Posts